Jumat, 17 Oktober 2014

Aktualisasi Kode Etik Jurnalistik ( Jurnalism )

Kode etik jurnalistik

Di dalam sebuah demokrasi, kebebasan jurnalistik menjadi satu tuntutan tersendiri. Para pekerja jurnalis pun menginginkan kebebasan tersebut setelah sekian lama di bawah bayang-bayang kekuasaan otoriter Orde Baru. Pada masa Orde Baru, banyak perusahaan media cetak yang dibredel gara-gara terlalu vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintah. Sesaat setelah reformasi, jurnalistik atau tepatnya kebebasan pers pun telah berhasil membebaskan keterkurungannya dari orde baru yang penuh kungkungan.

Landasan Kode Etik

Di dalam praktek jurnalistik, institusi pers beserta para wartawan seharusnya mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang digaris bawahi didalam KEWI.
Jurnalistik adalah suatu pekerjaan yang meminta tanggung jawab wartawan dalam menjalankan profesinya. Untuk memenuhi tanggung jawabnya ini maka wartawan harus memenuhi etika profesi yaitu Kode etik wartawan Indonesia (KEWI), alinea pertama, yang berbunyi
"...Guna menjamin tegaknya kebebasan pers serta terpenuhinya hak-hak masyarakat diperlukan untuk landasan moral/etika profesi yang menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan." Pada butir kelima KEWI ini juga disebutkan "Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak menyalahgunakan profesi" (Sobur, 2001:103).
Dengan KEWI, wartawan dapat menimbang prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai kewajiban terhadap dirinya dan kewajiban terhadap orang lain. KEWI yang bersifat nasional, sebagian landasan moral/etika profesi dan menjadi pedoman operasional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas. (Dewan pers, 2001:16).

Bebas Tanpa Bablas

Berbagai media dan para pekerja jurnalistik bebas mengemukakan dan menuliskan setiap peristiwa dengan gamblang. Akan tetapi, kebebasan pers yang dimaksud harus tetap diatur dalam koridor tertentu agar tidak kebablasan. Selain ada Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, para jurnalis juga memiliki Kode Etik Jurnalistik yang mengatur kerja para jurnalis atau wartawan dalam memperoleh informasi untuk diberitakan.
Dalam Kode Etik Jurnalistik dijelaskan bahwa wartawan Indonesia memiliki independensi agar bisa menginformasikan peristiwa sesuai dengan fakta dan hati nurani. Wartawan tidak boleh bekerja di bawah campur tangan, paksaan, atau intervensi pihak tertentu. Selain itu, informasi yang disampaikan wartawan harus akurat. Artinya, dapat dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
Wartawan juga tidak dibenarkan memberitakan informasi sesuai "pesanan" atau berperilaku memeras pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan finansial. Sebab, banyak pula wartawan gadungan yang kerjanya hanya mengancam pihak tertentu dengan tulisan yang sengaja memojokkan pihak tersebut. Jika tidak ingin diberitakan, biasanya wartawan gadungan tersebut meminta bayaran dengan nominal tertentu.
Oleh karena itu, seorang wartawan tidak boleh beritikad jelek ketika memberitakan sesuatu. Informasi yang disampaikan tidak tendensius, tetapi benar-benar untuk kepentingan publik yang dapat dirasakan manfaatnya.
Untuk memperoleh informasi yang akurat dan berimbang, seorang wartawan atau jurnalis harus bersikap profesional. Profesionalisme wartawan itu ditunjukkan dengan cara sebagai berikut.
  1. Menunjukkan identitas kewartawanan yang sah kepada narasumber. Dengan demikian, narasumber akan percaya dan mau memberikan informasi yang benar.
  2. Seorang wartawan harus menghormati hak privasi. Setiap orang mempunyai privasi yang tidak boleh diganggu oleh orang lain. Wartawan tidak dibenarkan untuk memberitakan informasi yang sifatnya pribadi yang mengarah pada gosip atau ghibah.
  3. Untuk memperoleh informasi, wartawan tidak dibolehkan melakukan suap terhadap pihak tertentu.
  4. Wartawan harus menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya. Sumber yang memberikan informasi harus dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Jika mengutip atau memuat gambar, foto, atau suara, harus dilengkapi dengan keterangan tentang sumber atau narasumber dan ditampilkan secara berimbang sehingga tidak dianggap plagiat.
Seorang wartawan atau pekerja jurnalis harus memahami benar rambu-rambu yang telah dibuat, baik dalam Kode Etik Jurnalistik maupun dalam Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999.

Permasalahan Asas Praduga tak Bersalah

Dalam penelitian Rositin (2003) di jelaskanAdalah Prof Harold L Nelson dan Prof Dwight L Teeter (1982) yang mengatakan bahwa makna trial by the press sebenarnya mempersulit seorang terdakwa untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tak memihak (fair trial). Terdakwa seakan-akan kehilangan hak atas "asas praduga tak bersalah" karena sebelum ada putusan pengadilan yang bersifat tetap baginya, ia telah dinyatakan bersalah oleh media massa.
Akan tetapi, tolok ukur bersalah dalam pengertian itu bagaimana? Tentulah tak seperti amar putusan hakim, meskipun media massa bertindak seperti hakim. Pasal 5 Undang-Undang (UU) Pers No.40.1999, mengharuskan pers menghormati "asas praduga tidak bersalah", tetapi tidak menjelaskan makna menghakimi atau membuat kesimpulan kesalahan seseorang yang sedang menjadi terdakwa, dalam perkara pidana. Kaidah-kaidah kode etik jurnalistik (KEJ) yang diterima secara universal melarang untuk disebutkan nama lengkap terdakwa. Juga wajah terdakwa di dalam foto jurnalistik media cetak atau dalam jurnalistik penyiaran, tidak boleh diperlihatkan.
Sebenarnya sesuai dengan perkembangan pers sekarang ini asas "praduga tak bersalah" tidak hanya menyangkut perkara kriminal dan hukum, meskipun keutamaan memang di kedua bidang itu. Seseorang atau badan bisa saja telah tercemar atau dipermainkan atau dianggap jahat oleh masyarakat akibat berita pers, meski yang bersangkutan tidak pernah berurusan dengan polisi, Jaksa, pengadilan. Semua berita, termasuk berita politik, ekonomi, olah raga, bahkan hiburan, juga dapat melanggar asas praduga tak bersalah meski bukan berita mengenai pengadilan.
Asas praduga tak bersalah yang mendasari hukum pidana di Indonesia seperti tercantum dalam UU Pokok Kekuasaan Kehakiman pasal 8:
"Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh hukum yang tetap."
Putusan hakim yang mempunyai Hukum Tetap ialah suatu putusan Hakim dimana tidak terbuka lagi untuk menempuh upaya Hukum yang tersedia bagi terpidana.

Pers Menghakimi Siapa di Untungkan?

Soal pelanggaran asas praduga tak bersalah dalam pemberitaan di media massa bukan kali ini saja menjadi persoalan. Hampir dalam setiap berita besar, terutama dalam bidang kriminalitas dan hukum, wartawan Indonesia dihadapkan pada dilema antara tuntutan pemberitaan secara lengkap dan "jebakan" melanggar asas praduga tak bersalah.
Serta dengan pemberitaan secara tidak lengkap sehingga pembaca tidak mendapatkan keseluruhan informasi yang dibutuhkan tetapi "tidak terjebak" dalam pelanggaran asas praduga tak bersalah. Lebih jauh, asas "praduga tak bersalah" mempunyai arti yang penting karena mempunyai implikasi hukum apabila dilanggar. Tidak jarang dalam praktek jurnalistik terjadi pelanggaran yang disebut kejahatan pers (delik pers).
Pelanggaran asas "praduga tak bersalah" dapat mengakibatkan orang yang diberitakan tercemar nama baiknya atau merasa terhina. Penyiaran berita yang tidak benar seperti ini dapat menjadi kasus penghinaan, yang dapat digolongkan sebagai delik pers penyiaran kabar bohong dan delik pers yang bersifat penghinaan (Assegaf, 1991:83).
Pemberitaan yang menimbulkan delik pers menyebabkan surat kabar yang bersangkutan dituntut pidana, atau dapat juga dituntut perdata dengan ganti rugi atas pencemaran nama baik, gambaran itu menunjukan bagaimana asas praduga tak bersalah, selain menyangkut masalah etika, juga mempunyai aspek hukum.

Persoalan Asas praduga tak bersalah cukup penting diungkap mengingat banyak contoh cara pemberitaan oleh pers yang sering diprotes masyarakat khususnya orang yang berkaitan dengan subjek pemberitaan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara penulisan yang tidak akurat, bahkan menjurus pada penuduhan tanpa bukti-bukti yang kuat. Dan yang diuntungkan dari penerapan kode etik jurnalistik yang rentan ini, adalah pihak yang paling serakah ingin memanfaatkan celah hukum, demi keuntungan finansial. Dari titik itu, Anda bisa menebak sendiri.

1 komentar:

"Hi!..
Greetings everyone, my name Angel of Jakarta. during my
visiting this website, I found a lot of useful articles, which indeed I was looking earlier. Thanks admin, and everything."
Ejurnalism